PERCAYALAH, jika ada yang serempak mendatangimu dengan gemuruh
degup di dada, koor nada, tepuk-sorak dan harapan kemenangan, itu
hanya ada dalam perjumpaan emosional dengan kota-kota sepak bola—satu di
antaranya mungkin kota kelahiranmu. Jangan cari di dalam peta. Cari ia
di daftar liga dan medan laga. Di sanalah kotamu mungkin ada, tegak
berjaga dengan klub kecintaan seluruh warga kota kelahiran. Atau kota di
mana engkau pernah tinggal, tempat kakek-buyutmu berasal, lalu merasa
memilikinya dalam ikatan batin tak terkatakan, sebagaimana kota itu
dengan ikatan kasih mengasuh klubnya, dan klub itu pun membela kota yang
mengasuhnya. Lengkap dengan umbul-umbul, tentu, semboyan, mars, coretan
di dinding, grafiti liar; lihat, fans fanatik berbaris di jalan-jalan,
raung knalpot berkumandang!
Lupakan para petinggi PSSI yang dengan nafsunya sendiri tak tahu cara
mencintai. Lupakan FIFA yang sedari dulu mabuk kata sanksi tapi tak
pernah benar-benar sangsi. Lupakan pula gelanggang-gelanggang besar
tempat berpacu: dunia lima benua, Asia Raya bahkan Asia Tenggara yang
terbuka di depan mata. Cukup lihatlah ke dalam, ke kota-kota kecil tanah
airmu yang tenteram, maka akan terlihat bahwa gairah sepak bolanya tak
pernah padam. Dalam musim-musim yang tak pasti memberi janji, kota-kota
itu tetap hidup dalam tempaan keringat, semangat dan kaki-kaki yang
berlari.
Ya, dalam musim kompetisi yang serba sulit dan menyedihkan ini,
kota-kota itu tetap datang bertandang. Dengan segala pilihan yang kita
punyai, ia bisa datang lewat siaran langsung televisi, radio atau
terbaca di pojok arena surat kabar esok hari. Atau sesekali,
bertandanglah ke stadion kotamu, simak gemuruh suara-suara. Terompet
dengan nada terseret-seret, lagu-lagu “kebangsaan” sebuah kota, yel-yel
kemenangan dan kekalahan, sama saja; akan selalu ada kubu yang bernyanyi
dan kubu lain meradang dalam caci-maki. Biarkan, itu atraksi yang
membebaskan di tengah tekanan politik yang memuakkan. Sebuah kota butuh
kanal. Cukuplah kali dan selokan-selokannya yang mampet dalam kepungan
musim hujan. Dan posisi nanti bisa berganti jika papan skor berbalik
arah. Yang bernyanyi akan ganti meradang dan yang meradang akan
mengacungkan kepal tangan ke langit tinggi. Begitu seterusnya. Tapi
sebentar akan tenang kembali. Semua hanya butuh ruang, dan itulah yang
mereka dapatkan.
Jadi, sebuah kota dengan klub sepak bola, adakah mimpi kelewat mahal?
Adakah itu hasrat kegenitan semata dari pengelola kota yang mencari
jalan pintas memunculkan kotanya ke tengah percaturan? Aku tak bisa
memberi jawaban soal ini, karena dalam banyak kasus memang sering
dijumpai hal-hal tak semestinya. Kocek APBD yang terkuras untuk
membiayai tim, gaji pelatih, transfer pemain. Sponsor mendadak kabur
atau tak ada sama sekali. Prestasi selalu berhenti di tepi-tepi. Fans
fanatik mengamuk, merusak rambu dan pertokoan, saling lempar dari kereta
api. Tapi tak pula kita hendak menutup mata betapa kota-kota sepak bola
memiliki semacam ruang publik, tempat bermain bersama setiap orang
dalam ikatan yang tak akan terjelaskan dengan apa pun. Tanpa harus
sampai pada titik fanatik, tiap kali nama klub sebuah kota disebut,
seseorang yang punya ikatan—dalam bentuk apa pun—ajaib, akan merasa
dicubit. Mungkin ia akan segera ambil posisi di depan tivi yang
menayangkan siaran langsung pertarungan klub itu, atau sejak sejauh hari
menandai agenda bahwa ia akan bergabung ke stadion kota tercinta.
Sebagian lain, setidaknya sekali seumur hidup akan berdoa buat
kemenangan salah satu klub yang diam-diam dibelanya….
Begitulah aku rasakan tiap kali menonton televisi yang menayangkan
pertandingan bola dalam negeri. Selalu ada perasaan ajaib datang
menghampiri. Berbeda jika menonton liga-liga benua seberang yang hanya
menyeretku pada aktor-aktor lapangan, menonton liga tanah air (yang kini
bercabang dua) aku lebih banyak mengalir bersama kota-kota yang
mengusungnya. Bahkan tak jarang jika aku menyempatkan diri datang ke
stadion kota kecilku yang baru selesai dibangun di tengah sawah, dalam
kepungan kebun tebu, aku pun tak sepenuhnya larut dalam gocekan bola
semata, namun terseret, dekat atau jauh, dari kota ke kota. Dan
benar, apa yang serempak mendatangiku dengan gemuruh degup di dada, koor
nada, tempik-sorak dan harapan kemenangan, adalah kota-kota sepak bola!
***
KUPICINGKAN mata, maka kota-kota kecil sepak bola muncul
seperti sedang mengambil absen dalam kepala. Ketika beberapa klub
kutandai dengan penekanan yang khusus—semacam upaya mencari ikatan batin
atau apa—maka aku akan terdampar ke sebuah kota yang tak terduga. Suatu
sore, pluit wasit melengking membuka pertandingan Persibo vs Persiba di
Stadion Sultan Agung. Sebagaimana tadi kusebutkan, stadion itu berada
di tengah sawah arah ke reruntuhan Kraton Mataram Kuno di Plered,
Bantul. Selain dikepung kebun tebu, jalan ke stadion diteduhi barisan
pohon jati. Aneh, ketika Samsul Arif berkejaran dengan Ugik Sugiyanto
dan kawan-kawan, diiringi yel-yel Boromania dan Paserbumi, ingatanku
justru melayang ke timur seolah menumpang selembar daun jati.
Ya, bersama ingatan yang tak lekang aku masuki kota Bojonegoro,
setelah perjalanan panjang menyusuri hamparan pohon jati dari Ngawi, ke
punggung Pegunungan Kendeng, sampai di Padangan dan Kalitidu. Kumasuki
jalannya yang lebar, bersisian dengan rel kereta api jalur Pantura yang
sesekali menderu sampai jauh. Tak jauh dari gerbang kota terdapat sebuah
terminal yang gampang tergenang dimusim hujan. Di sana aku pernah
turun, lalu menyambung perjalanan ke salah satu sudut kota, ke tempat
paman istriku tinggal. Paman itu mantan seorang pamong, pindahan dari
Kudus bertahun-tahun lalu, namun merana di masa tua. Semua harta
bendanya, termasuk entah berapa tumpak kebun jati, dijual oleh anak
angkatnya. Tinggallah sang paman di sebuah rumah sederhana di sudut
kota, namun ia tetap pribadi yang hangat sehingga ajaib aku merasa punya
ikatan batin dengan kota yang ditinggalinya. Sejak itu, jika kudengar
atau kubaca Persibo berlaga, pikiranku dengan sendirinya akan berpihak,
disadari atau tidak. Bahkan ketika kini klub itu bertandang ke kotaku
sendiri, aku merasa tak tahu hendak mendukung siapa.
Begitu pula ketika aku menonton Arema vs Semen Padang di layar kaca,
yang pertama-tama muncul bukan persoalan kalah-menang, tapi ingatan akan
kedua kota yang lama kutinggalkan. Entah kenapa, Arema mengingatkanku
pada Patung Chairil Anwar di sebuah perempatan. Surprise melihat patung
itu pada suatu hari menjelang senja, aku nyaris berteriak, “Malang
satu-satunya kota yang punya patung si Binatang Jalang!”
“Tapi kenapa wajahnya bopeng-bopeng, Pa?” tanya anakku yang duduk di
bangku SD, spontan, setelah ia merasa sia-sia mendapat sesuatu yang
menarik dari patung itu. Ragil, teman yang memilin-milin rambut
kritingnya mengejapkan sebelah mata lalu bercerita tentang kenapa patung
itu kurang proporsional. Itu tak lain lantaran ia jadi rebutan beberapa
partai di Kota Malang, di antaranya PSI dan PNI—keterangan yang tentu
juga tak menarik bagi bocah SD. Tapi, bagiku tak ubahnya PSSI yang
bopeng jadi rebutan!
Tak jauh dari patung, terdapat kedai es krim “Oen” dengan bangunan
tua bercat putih susu dan coklat tua. Ke sana kami menuju, bertemu kawan
lain, Didin dan Anan yang baru datang dari Kepanjen. Sambil menikmati
es krim yang dihidangkan dalam wadah antik, aku tanyakan pada Didin
apakah ia warga Arema atau Persema.
“Yang jelas warga Nahdliyin,” katanya kalem.
“O, berarti pendukung MU,” kataku. Kami tertawa. Barulah ketika aku
diajak ke Kepanjen dan mampir di Kanjuruhan, aku paham betapa tak mudah
menjawab pertanyaanku di kedai es krim tadi. Sebuah klub di sebuah kota,
kau tahu, tak hanya milik warga setempat, melainkan semua orang di
sekitarnya. Organisasi Aremania membuktikan itu. Berapa banyak para
pecinta Arema yang menemukan ruang tamasya di klub Singa Biru? Berapa
banyak yang menggantungkan hidup dari penjualan marcandhiase,
kaos dan bendera? Ketika Kabupaten Malang membangun klub sendiri yang
bermarkas di Stadion Kanjuruhan, dan pengurus pun menempuh jalan berbeda
dengan bergabung ke satu liga, bagaimanakah publik menyikapi? Adakah
keterpecahan dukungan atau bahkan psikologis atas kota kesayangan? Aku
tak tahu.
Atau mungkin satu hal yang biasa, sebagaimana para pemain datang dan
pergi? Bukankah di tiap penghujung musim, ada banyak pemain yang
bertukar tempat, berpindah klub? Mereka berpindah dari satu kota kecil
ke kota kecil lain, seperti Kenji Adachihara dari Bontang FC ke Persiba
Balikpapan, Made Wirawan dari Persela Lamongan ke Persiba, atau Zulham
Zamrun dari Persela ke Mitra Kukar. Ada dari kota besar ke kota kecil
sebagaimana Okto Maniani dari Sriwijaya FC ke Persiram Raja Empat. Ada
dari kota kecil ke kota besar seperti Egi Melgiyasah dari Persijap
Jepara ke Pelita Jaya atau Zabriano R. Deltrame dari Persela ke Persija.
Tidak jarang pemain luar pulang ke negaranya dan boomber lain
datang, sebagian dikontrak klub dari negara lain. Bagaimanakah para
pemain itu menukar pembelaan, dari klub yang dulu ia bela mati-matian,
kemudian ditinggalkan, seolah sekadar berbalik badan?
Ah, semua hanya permainan semusim, barangkali itulah jawabannya. Tapi
entah kenapa hati kecilku menganggap tak sesederhana itu. Bagiku selalu
ada terasa yang hilang tiap kali seorang pemain pergi, dan tidak cepat
merasa tergantikan tiap kali pemain lain datang. Aku seumpama anak
laki-laki kecilku yang hatinya rawan untuk soal-soal semacam ini. Dia
pernah sangat sedih memikirkan ketika Fortune Udo harus hengkang dari
Persiba, menyeberang ke Vietnam. Dia pernah memikirkan bagaimana Markus
Horizon bisa menghadapi pertemuan Persib dengan PSMS, antara klub lama
dan klub barunya? Bagaimana pula Gonzales dan Eka Rhamdani mengisi
hari-harinya dari Bandung yang hiruk ke Samarinda yang relatif sepi?
Lama kemudian kami—aku dan anakku yang sudah akan meninggalkan bangku
SD-nya—menyadari bahwa sepak bola tak ubahnya pabrik yang didirikan di
suatu tempat dan karyawannya datang dan pergi, jika perlu pabriknya
sendiri bisa berpindah tempat. Dan sebagaimana pabrik, ia terbuka
dimasuki siapa pun tenaga yang dianggap lebih baik. Tak peduli
“pribumi”, asing atau naturalisasi, semua bisa bersaing sejauh
perusahaan butuh. Dan boleh jadi pula suatu ketika perusahaan terbelit
hutang, pailit dan para karyawan lepas tunjangan bahkan tak makan gaji.
Kita baru saja merasakan sedih mendalam atas kematian Diego Mendieta,
pemain perantau dari Paraguay, yang gajinya tertunggak di Persis Solo.
Tentu itu hanya satu contoh yang menyedihkan. Masih banyak kesedihan
lain yang disurukkan di berbagai tim, tak pandang klub besar atau kecil.
Itu sebuah resiko. Maksudku, sepak bola adalah industri, dan
sebagaimana industri yang bertumbuh tak hanya di kota besar, kota-kota
kecil pun tak luput tersentuh. Lalu, masihkah ia menyisakan ruang piknik
bagi segenap warga kota jika aroma industri lebih mengemuka, juga
tangan panjang kekuasaan?
Sekali lagi tak bisa kujawab.
***
APA PUN, ada banyak cara bagi sebuah kota untuk membangun eksistensinya. Membangun gedung, jalan dan jembatan, meresmikan mall,
merebut Adipura, itu sudah biasa. Di antara yang tak biasa adalah
membangun dan merawat klub sepak bola. Sepak bola cukup pas membuat
sebuah kota tinggal dalam rekam jejak kepala anak-anak yang berangkat
remaja atau siapa pun yang bersentuhan dengannya. Lewat klub sepak bola,
kota-kota kecil bersanding jika bukan bertanding dengan kota-kota besar
lainnya, bersileweran di layar kaca dan berita-berita arena. Bukan
hanya Divisi Utama, dalam daftar Liga Primer pun klub-klub kota kecil
muncul percaya diri, tak ciut nyali bersanding dengan klub-klub kota
besar.
Persik Kediri, Arema Malang, Deltras Sidoarjo, adalah klub yang sudah
lama malang-melintang, bersanding dengan Persebaya Surabaya, Persib
Bandung, Semen Padang, Persija Jakarta, Persipura atau Sriwijaya
Palembang. Belakangan muncul dengan meyakinkan Laskar Kalinyamat
Persijap Jepara, Persela Lamongan, Persiwa Wamena, Persibo Bojonegoro,
Persiba Bantul. Dua yang terakhir muncul menjuarai Divisi Utama dan
memborong tropi pemain terbaik dan top scorer. Muncul pula Mitra Kukar, Persiba Balikpapan, Persiram Raja Empat, Bontang FC, Gresik United, Persema Malang.
Tak kalah banyak adalah klub Devisi Utama, yang sebagian mungkin
sudah naik peringkat ke Liga Primer atau tutup buku. Mestinya mereka
bisa lebih pasti jika dua organisasi yang merasa berhak—LSI dan LPI—bisa
duduk semeja dan tidak semena-mena bermain dadu. Sebab ada banyak
bendera klub berkibar di kota-kota kecil itu, mulai dari PSAP Sigli,
PSLS Lokhsumawe, PSBI Blitar, PSCS Cilacap, PPSM Magelang, PSPM
Mojokerto, Persiku Kudus, PSIR Rembang, Persibangga Purbalingga,
Persepam Pamekasan, atau yang sudah lama eksis seperti Persis Solo dan
PSS Sleman. Di klub-klub itu bertebaran tak hanya pemain-pemain masa
depan, juga para pendukung yang tak kenal lelah, dan setia, dengan
organisasinya. Boromania, Deltamania, LA Mania, Slemania, Pasopati, dan
jangan lupakan Aremania—boleh jadi salah satu yang terbesar. Persiba
Bantul bahkan punya lebih banyak komunitas: Paserbumi, Kere Hore, Bad
Boys dan CNF. Dan Bonek, tentu juga mesti dicatat sebagai fenomena
“heroik” dalam sepak bola kita.
Mau dibawa ke mana mereka semua?
Jauh dari pusat kota kecil tempatku tinggal, di stadion tengah sawah
dalam kepungan kebun tebu, aku duduk mengenang kota-kota kecil yang
membangun impian dan eksistensinya lewat sebuah benda bulat. Benda bulat
yang, sebagaimana kusaksikan, mulai bergulir dari kaki ke kaki, dari
dada ke dada, dan sesekali jatuh dalam tangkapan kiper. Lalu ditendang
lagi, dikocok, dioper ke sana kemari, makin kencang dan liar seiring
arena yang membahana dengan koor-nada, tempik sorak, yel-yel dan
teriakan tiada habis. Tak pernah habis. Perpaduan industri dan hasrat
menegakkan jatidiri membuat kota-kota kecil sepak bola seakan abadi
dalam musim-musim berkabut yang tak pasti memberi janji! (*)
/Rumahlebah Yogyakarta, Desember 2012
Komentar
Posting Komentar