Wayang merupakan puncak kebudayaan Jawa. Ada unsur seni, sastra, sosial tercampur di dalamnya. Sehingga bisa dikatakan wayang merupakan manifestasi spirit dari tiap diri manusia yang memiliki cipta, rasa dan karsa.
Menelusuri asal-usul wayang memanglah tidak mudah. sejak jaman Belanda yang terkenal lebih canggih pada masanya terutama dibidang penelitian sejarah, para peneliti, cendikiawan dan praktisi berlomba dan bahu-membahu mengupas asal-usul wayang dengan berbagai teori. Sebut saja Hazeu, Rassers, KPA Kusumadilaga, Ranggawarsita, Suroto, Sri Mulyono, dll.
Dari sekian banyak peneliti semua sepakat dan menyimpulkan bahwa : wayang merupakan produk asli budaya Jawa sejak jaman dahulu dan berkembang mengikuti setiap jaman. Hal inilah yang menjadikan wayang memiliki segi akulturasi, dimana wayang seolah-olah berasal dari China (wayang potehi), juga wayang seolah berasal dari India (ceritera utama Mahabarata dan Ramayana).
Dua sisi yang saling bertentangan inilah yang menjadikan wayang bukanlah berasal dari salah satu dari dua kebudayaan sumber tersebut. Kalaupun wayang berasal dari China mengapa ceriteranya tidak ada yang mengambil ceritera wayang potehi sedikitpun? harusnya jika wayang berasal dari China, sedikit banyak ceriteranya juga ikut terbawa. Demikian juga sebaliknya, kalau wayang berasal dari India, mengapa di India tidak pernah kita menemukan informasi di India ada wayang atau bentuk seni budaya yang mirip? padahal jelas-jelas ceritera Mahabarata dan Ramayana dikarang dan diyakini oleh orang india (resi Viasa pengarang Mahabarata & Valmiki pengarang Ramayana).
Akhirnya para peneliti mengalihkan perhatian pada periode budaya jawa sebelum kedatangan dua kebudayan besar diatas, China dengan kekuatan ekonominya dan India dengan kekuatan spiritualnya.
Kita tahu dan sepakat, sebelum kedatangan agama Hindu Budha, Jawa menganut sistem kepercayaan animisme dan dinamisme (ani=any=sesuatu=roh, dyna=mega=besar) sesuatu yang menggetarkan jiwa/ mental manusia saat itu adalah ketakutan mereka pada sesuatu yang tak nampak sesuatu yang sulit diantisipasi namun terkadang bisa membantu dan juga bisa mencelakakan. Sesuatu itu merasuk dalam benda-benda yang berukuran besar seperti batu besar, gunung, pohon, samudera dll. Mereka percaya bahwa disitulah roh yang luar biasa tersebut bersemayam. Sangat logis memang untuk sebuah perjalanan spiritual seseorang yang gemar olah kebatinan.
Kemudian setelah mereka meyakini tempatnya, mereka berusaha untuk melakukan komunikasi seperti memukul tetabuhan, mengucap mantera dan menciptakan suasana yang dibuat untuk mendatangkan dan berbicara dengan roh tersebut. Tetabuhan berkembang menjadi seni gamelan, mantera berkembang menjadi suluk, geguritan dan tembang, sedangkan suasana malam adalah suasana yang masih terus dipertahankan hingga kini dalam penyelenggaraanya. Kalaupun ada wayang siang hari itupun tidaklah detil dalam pelaksanaanya.
Di dalam memori manusia selalu tersimpan seseorang yang terkasih dan disegani semisal orang tua dan para leluhur yang sudah tiada namun rohnya dianggap masih ada. Hal ini dikuatkan antar sesama mereka dalam menjalin hubungan sosial dan pertalian darah yang menyatu dan menyatukan mereka. Leluhur menjadi pemersatu dan kebanggan bersama dan akhirnya merekapun bersama-sama memanggilnya pada upacara ritual tersebut. Bisa dikatakan prosesi tersebut adalah acara memanggil dan berkomunikasi dengan arwah para leluhur mereka.
Namun seringkali hal ini menjadi pergunjingan di kalangan masyarakat saat ini bahwa wayang adalah bentuk kemusrikan. Jika yang dimaksud adalah praktik wayang pada masa prasejarah diatas memang benar dakwaan tersebut. Namun wayang telah jauh berbeda baik bantuk maupun spirit antara dulu dan sekarang. Dulu digunakan untuk peribadatan, sekarang untuk hajatan, misal pernikahan, atau acara organisasi/instasi besar tanpa sedikitpun dibenak penyelenggaranya punya niat menyembah dan memanggil roh atau mensekutukan Tuhan Yang Maha Esa.
Dari sisi bentuknya memang ada sumber yang mengatakan tidak boleh membuat sesuatu yang serupa dengan makhluk hidup ciptaan-Nya. Tapi lihatlah wujud wayang secara cermat, semua sudah distilasi dengan indah tanpa kemiripan sedikitpun, tangan yang panjang, bentuk yang tidak proporsional, semua bentuk dan garis diukir dengan indah namun tak seindah ciptaan-Nya. Juga pada bagian leher terdapat dua guratan berjumlah tiga. tiga melambangkan niat yang kuat (hati, lisan, perbuatan) dengan menyebut Asma-Nya (bismillah) sedangkan dua guratan melambangkan luka sembelih menggunakan dua kalimat syahadat sebagai wujud dan mengingatkan bahwa kita ini sudah beriman janganlah menjadi kafir lagi.
Hal ini pastilah sudah difikir masak-masak oleh para wali jaman dulu, mereka yang dalam ilmu agama dan kebatinanya sudah memikirkan garis besar maupun detilnya. Disisi lain kita juga dituntut untuk mempelajari langsung dari sumbernya (Al Quran dan Sunnah) sebagai pegangan utama. Selama hal-hal yang bersifat primer bukan cabang/furu' tidak bertentang dengan akidah, tentu ruang perdebatan sangat terbuka lebar.
Selanjutnya adalah tentang bentuk pertama dari wayang, tentu salah satu diantara manusia prasejarah tersebut berprofesi sebagai tetua atau mungkin dukun. Sang tetua mengucap bahasa-bahasa komunikasi dan memanggil para roh dengan panggilan-panggilan khusus. Biar bisa dihayati oleh semua anggota upacara prosesi maka sang tetua membutuhkan media yang bisa digerakkan, seperti daun, dahan, potongan kayu, kulit dan lain sebagainya. karena kalau menggunakan media yang lebih berat tentu akan kesulitan. Media-media tersebut akhirnya berkembang hingga kini berwujud wayang suket (dari rumput dan dahan), wayang beber (dari daun), wayang golek dan Klitik dari patung kayu), wayang Kulit (dari kulit kayu, daun dan kulit).
Itulah asal-muasal dari kesenian wayang yang ada saat ini, karena begitu dalam dan indah maknanya maka menarik perhatian banyak pemerhati pada masa itu sehingga bidang politik ekenomi dan sosial bercampur dan berkelindan didalamnya, begitu banyak kepentingan itulah manjadikan wayang mencapai puncak dari kejayaan peradaban tanah Jawa. Ibarat tekhnologi yang menjadi mercusuar dibidang sains, maka wayang adalah mutiara dibidang sosial budaya pada masa itu dan terus berkembang hingga kini.
Komentar
Posting Komentar